Saya yakin, seyakin-yakinnya, andai para peserta Kongres Pemuda II tahun 1928, yang melahirkan sejarah Sumpah Pemuda, kembali berkumpul saat ini, mereka pasti masih tetap bersemangat membincangkan masalah bangsa. Tema boleh berubah, tapi heroisme dan nasionalisme tetap terjaga.
Sambil ngopi, mungkin juga ada yang menghisap rokok, mereka mendiskusikan bagaimana tantangan pemuda saat ini mengisi kemerdekaan dan mempertahankan semangat Sumpah Pemuda. Salah satu tantangannya adalah memenangkan persaingan pasar kerja, baik persaingan dalam negeri, regional maupun global. Pemuda Indonesia harus kreatif, produktif, berkarakter, dan berdaya saing.
Saat ini, kita dihadapkan pada piramida kualifikasi pasar kerja, di mana 60-an persen angkatan kerja Indonesia hanyalah lulusan SD-SMP dengan kompetensi keahlian yang rendah. Tentu ini tak bisa dibiarkan terus berlanjut, jika ingin memenangkan kompetisi pasar kerja. Upaya peningkatan kesejahteraan pekerja sering terkendala oleh rendahnya kompetensi.
Perkembangan teknologi mengharuskan pekerja menguasai skill. Atas hal ini, Presiden Joko Widodo telah memberikan instruksi yang jelas dan tegas. “Kita harus membalik piramida kualifikasi tenaga kerja yang mayoritas masih berpendidikan SD dan SMP menjadi tenaga kerja yang terdidik dan terampil,” demikian instruksi presiden.
Bisakah untuk membaliknya? Bisa.Tak ada yang susah, jika ada komitmen yang kuat. Tentu butuh kerja keras pemerintah serta dukungan seluruh masyarakat, khususnya pemuda. Populasi pemuda yang mencapai 60 persen penduduk Indonesia, menjadi modal sosial yang kuat. Sejarah membuktikan, diawali dari Sumpah Pemuda, pemuda telah mengambil peran besar dalam tiap perubahan republik ini.
Banyak peran pemuda yang harus lebih digelorakan. Antara lain mendorong para pemuda menjadi pelaku industri kreatif. Sebuah usaha yang sangat identik dengan “kenakalan” dan kreatifitas anak muda. Fenomena generasi millenial yang akrab dengan teknologi informasi, sangat mendukung menjamurnya usaha-usaha kreatif. Banyaknya potret entrepreneur muda Indonesia yang sukses di bidang industri kreatif berbasis teknologi, seperti media online, e commerce, musik, pariwisata, fashion, kuliner, kriya dan sebagainya, menunjukkan bahwa pemuda Indonesia memiliki kompetensi dan daya saing yang tangguh.
Sementara bagi pemuda yang menjadi pekerja, yang kebetulan belum mempunyai kompetensi skill, pemerintah terus mendorong membuka pelatihan vokasi melalui Balai Latihan Kerja (BLK) yang menawarkan berbagai keahlian kerja, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta. Pemerintah juga serius meningkatkan kualitas pendidikan vokasi melalui jalur Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sehingga lulusan SMK bisa langsung diterima pasar kerja.
Semangat memaknai api Sumpah Pemuda secara kontekstual, harus terus digelorakan sebagaimana pesan Bung Karno “Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, bangsa, dan tanah air. Tapi, ini bukan tujuan akhir”.
Hidup pemuda Indonesia!!!