Latar Belakang Dalam mewujudkan organisasi kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa adanya tuntutan profesionalisme SDM yang sekaligus sebagai daya saing organisasi dalam era globalisasi dewasa ini. Daya saing suatu organisasi baik pemerintah maupun swasta terletak pada kompetensi SDM nya. Kompetensi dimaksudkan baik teknis, sosial maupun spiritual. Sekjen Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sejak tahun 2006, menekankan perlunya pegawai yang memiliki keseimbangan moralitas dalam bekerja dan mampu bekerja sama dalam tim work yang solid. Untuk itu diperlukan tidak hanya kecerdasan intelektual akan tetapi juga kecerdasan emosional dan spiritual. Kecerdasan emosional dan spiritual ( Emotional Spiritual Quotient ) telah dikenalkan sejak tahun 2001 oleh penulisnya Ary Ginanjar Agustian melalui pelatihan ESQ. Di kalangan instansi pemerintah, sejak tahun 2003, Pusdiklat Pegawai Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah pula memiliki pokja Kecerdasan Emosional dan Spiritual dan telah mensosialisasikan materi kecerdasan emosional dan spiritual bagi pimpinan dan pegawai di kalangan organisasi pemerintah baik di lingkungan instansi sendiri maupun di instansi lain seperti Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum dan HAM RI. Upaya untuk mengetahui refleksi materi kecerdasan emosional dan spiritual pada peserta telah dilakukan evaluasi setiap kali selesai pelatihan. Penulis telah melakukan penelitian awal pada sekelompok alumni pada tahun 2006, 4 bulan pasca pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual di salah satu instansi pemerintah.
Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasikan perubahan yang terjadi pada kinerja SDM dan makna kecerdasan emosional dan spiritual dalam bekerja.
Kecerdasan Emosional dan Spiritual
Kecerdasan emosional (motional Quotient ) dipopulerkan oleh Daniel Goleman pada tahun 1990-an. Kecerdasan emosional diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menyadari perasaan milik sendiri dan memahami perasaan milik orang lain. Pada akhir abad 20, ditemukan adanya kecerdasan spiritual ( Spiritual Quotient ). Danah Zohar dan Iann Marshall ( 2002) menyatakan, SQ adalah kecerdasan yang paling utama. Mereka meyakini bahwa kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) akan bekerja secara efektif apabila seseorang mampu menjalankan kecerdasan spiritual (SQ) nya. Gay Hendricks (2002) menyatakan pula pemimpin sukses abad ke 21 adalah yang memiliki kecerdasan spiritual.
Pemberdayaan SDM Organisasi
Sifat dasar manusia adalah ingin berbuat baik dan ingin menjadi yang terbaik. Tuhan YME selalu mendorong manusia untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan dan menjadi pemenang dalam kebaikan. Untuk berlomba dalam kebaikan harus memiliki ketangguhan. SDM tangguh adalah yang dapat memberdayakan potensi dirinya untuk berbuat kebaikan. Untuk itu perlu mempelajari sifat-sifat positip dan negatif yang ada dalam diri manusia. Menurut Harjani MA, salah seorang pakar SQ, pemberdayaan SDM diartikan sebagai upaya untuk mencuatkan potensi baik dalam diri dan menekan sifat-sifat buruk agar tidak muncul. Potensi baik dalam diri ini sebagai daya dari dalam diri yang membuat seseorang berkembang. Sebagaimana yang dinyatakan Indrawan Nugroho, master trainer dan penulis buku best seller kubik leadership bahwa pemberdayaan SDM adalah daya dalam diri yang mampu membuat seseorang itu mau berkembang dan mampu berkembang. Jamil Azzaini, seorang konsultan bisnis dan trainer motivasi terbaik Asia tahun 2004, menyatakan SDM dikatakan berdaya apabila dia bergerak tanpa disuruh-suruh, tanpa menunggu reward dan punisment, tapi dia bergerak karena dia ingin memberikan sesuatu yang berarti dalam hidup ini. Dia ingin berkontribusi sebelum meninggal dunia dan dia ingin selama hidup ini membuat arti dalam kehidupan.Hal ini diperkuat oleh Indrawan Nugroho bahwa SDM berdaya adalah orang yang mau dengan kesungguhan hati untuk bekerja keras, bekerja cerdas dan bekerja ikhlas.
Sedangkan Napitupulu (1998) pakar pemberdayaan menyatakan pemberdayaan sebagai upaya memberikan daya pada seorang yaitu sesuatu perasaan kekuatan batin dan percaya diri untuk menghadapi kehidupan, hak untuk menentukan pilihan-pilihan sendiri dalam kehidupan, kemampuan untuk mempengaruhi dan dipengaruhi proses-proses sosial yang berdampak pada kehidupan sendiri dan arah perubahan sosial ( Napitupulu, 1998).
Pemberdayaan SDM organisasi dimaksudkan sebagai upaya dalam ’empowering’ pegawai / karyawan dalam mengelola diri untuk mengembangkan sikap mental produktif dalam bekerja. Emil Salim dalam Jusuf Suit Almasdi (2006), menyatakan bahwa pengelolaan SDM adalah mengembangkan sikap mental terkendali dan terpuji. Sikap adalah suatu bentuk reaksi dari perasaan (Lousis Thurstone, dkk dalam Saifuddin Aswar ( 2003). Sikap berhubungan dengan komponen kognitif, afektif dan konatif. Sikap mental yang sehat adalah sikap yang dibangun dari hati yang bersih yang didasari oleh keyakinan yang kokoh sebagai hamba Tuhan YME.
Membangun Sikap mental menurut Ary Ginanjar Agustia ( 2003) dilakukan dengan 6 prinsip yaitu berprinsip kepada Tuhan, prinsip malaikat, prinsip kepemimpinan, prinsip pembelajaran, prinsip masa depan dan prinsip keteraturan. Dengan 6 prinsip ini seseorang akan memiliki keyakinan dalam bekerja di dunia namun berbasis akhirat. Firman Allah : Dan carilah dengan apa yang dianugerahkan Allah kepada engkau akan negeri akhirat dan janganlah engkau melupakan bagianmu di dunia, dan berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah engkau berbuat bencana di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang berbuat bencana (Al Quran surat Al Qashash ayat 77).
Pemberdayaan SDM organisasi melalui pengembangan sikap mental yang terpuji diperlukan pembiasaan sehari-hari. Menurut AA Gym perlu 4 hal dalam pola pembinaan SDM :
- Adanya keteladanan,
- Adanya pendidikan yang berkesinambungan,
- Adanya sistem yang kondusif dan
- Dilandasi dengan kekuatan ibadah.
Sedang menurut hasil pembahasan kompetensi sosial dan spiritual di Pusdiklat Pegawai ( 2005), sikap dan perilaku positip dapat dibentuk dalam diklat melalui 3 tahap yaitu :
- Zero Mind Process dan instropeksi diri (nfreezing ),
- Proses pembentukan sikap dan perilaku baru (moving) dan
- Penetapan perilaku yang diinginkan dalam diri manusia tersebut (refreezing).
Metodologi Penelitian
Penelitian yang dilakukan menggunakan metodologi kualitatif dilakukan kepada para alumni pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual di Pusdiklat Hukum dan HAM. Waktu penelitian 4 bulan pada Maret s/d Juli 2006 ( Emmy.S, 2006). lokus bidang Penyelenggara Pusdiklat Departemen Hukum dan HAM RI yang dipilih secara purposive sampling. Alasan memilih lokus karena 1) bidang Penyelenggara merupakan tolok ukur keberhasilan diklat, 2) semua pejabat strukturalnya telah mengikuti pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual pada bulan Maret 2006, 3) Dua orang pejabat struktural eselon IV dinyatakan langsung berubah total setelah pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual yang diberikan oleh tim S2C Pusdiklat Pegawai Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Gambaran Permasalahan SDM
Lokus penelitian mempunyai visi yaitu ’ menjadi lembaga pelatihan yang berkualitas. Untuk mencapai visi itu SDM Pusdiklat yang diinginkan adalah yang : kreatif, inovatif, tidak mengeluh, jujur dan disiplin. Namun, adanya sementara anggapan akan citra penyelenggaraan diklat yang kurang baik selama ini dari alumni diklat bahwa penyelenggaraan diklat dinilai kurang optimal dalam menegakkan disiplin dan peraturan serta penentuan rangking kelulusan diklat yang masih kurang objektif.
Pada bidang penyelenggara sebagai objek studi kasus dalam penelitian yang dilakukan, terdapat 4 sub bid yaitu bidang Tenaga Pengajar, sub bid adm jabatan fungsional, sub bidang sarana dan sub bidang peserta dan alumni. Visi dari bidang penyelenggara adalah memberikan layanan yang terbaik. Kegiatan bidang penyelenggara pada tahun 2006 memiliki mobilitas yang tinggi dengan frekuensi pelatihan 6-7 kali setiap bulan. Sedangkan kondisi SDM saat ini diakui kabid penyelenggara belum optimalnya tanggung jawab, disiplin dan prestasi kerja serta kurang koordinasi dalam pelaksanaan tugas yang ditandai dengan pekerjaan yang sering tertunda, iri hati dan curiga kepada teman dan kurangnya keteladanan dari pimpinan. Untuk itu munculah gagasan bid penyelenggara untuk mengadakan pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual pada maret 2006.
Materi Pelatihan
Sejak tahun 2005, materi kecerdasan emosional dan spiritual telah dimasukkan dalam kurikulum beberapa diklat teknis pada pada Pusdiklat Pegawai Kementerian Hukum dan Ham RI. Seperti diklat Manajemen Eksekutif, diklat Hak Asasi Manusia bagi mahasiswa AKIP.
Pada tahun 2006, para pejabat Pusdiklat Pegawai Kementerian Hukum dan HAM mendapat kesempatan untuk memperoleh materi kecerdasan emosional dan spiritual yang diberikan oleh tim S2C Pusdiklat Pegawai Depnakertrans. Pelatihan dilaksanakan selama 2 hari dengan metoda spiritual experience.
Materi yang diberikan konsep kecerdasan emosi dan spiritual, konsep diri, penjernihan hati, mengenal potensi baik dan buruk diri, membangun komitmen dan membangun habit dengan 7 kebiasaan sukses dan mulia – B5KB. Dari hasil pelatihan itu telah berhasil diperoleh dan disepakati nilai- nilai komitmen kerja mereka, sebagai learning product utama.
Pengukuran Hasil
Pengukuran hasil pelatihan diperoleh dari data penilaian kinerja oleh pimpinan eselon 3 dan 4 pada bidang penyelenggara terhadap unit kerjanya masing-masing, 4 bulan setelah pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual usai, berdasarkan indikator disiplin, tanggung jawab, kerjasama dan prestasi kerja. Hasil Penelitian : Penerapan Kecerdasan emosional dan spiritual di tempat kerja.
Menurut para informan / responden penelitian dan dari hasil pengamatan di lapangan 4 bulan setelah pelatihan, para alumni di Bidang Penyelenggara Pelatihan tersebut, menampakkan adanya perubahan sikap dan perilaku dalam bekerja (Emmy, S. 2006). Sebagai gambaran hasil diuraikan di bawah ini.
Semula responden BK dikenal stafnya sebagai pimpinan yang kurang perduli (cuek ) pada pekerjaan, kehadiran di kantor tidak bisa dipastikan, dalam menghadapi staf menggunakan ’pendekatan kekuasaan’ serta tidak memperhatikan kerapihan berpakaian.
Namun semua ini langsung berubah setelah pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual. Ketika hari pertama masuk kerja, BK mulai tampil beda; dengan penuh perhatian ia mengumpulkan stafnya dan dengan pendekatan ’akademis’, berbeda dengan biasanya, ia menjelaskan apa yang telah diperolehnya setelah pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual.
Kemudian BK minta kepada stafnya untuk mengoreksi kekurangan dirinya. Lalu stafnya mengatakan semua kekurangannya. Kemudian BK minta lagi kepada stafnya untuk menyampaikan apa yang diinginkan dari dirinya. Dan stafnya mengatakan bahwa ia ingin BK berubah dan lebih memperhatikan kesejahteraan mereka. Dalam suasana keterbukaan seperti itu, BK dan stafnya berhasil membangun 6 komitmen kerja yaitu bertaqwa, bertanggung jawab, jujur, disiplin dan tidak berbuat curang.
Dalam aplikasinya taqwa mereka wujudkan dengan melaksanakan ibadah di tempat kerja dan saling mengingatkan waktu ibadah. Bertanggung jawab diwujudkan dengan melakukan pekerjaan dengan tuntas dan selesai pada hari itu sesuai protapnya. Jujur diwujudkan dengan laporan riil yang menyangkut keuangan dan pembagian kesejahteraan.
Sedangkan disiplin diwujudkan dengan hadir di kantor pada jam kerja bahkan sebelum pukul 8 dan pulang setelah jam pelajaran berakhir, terutama pada saat ada kegiatan diklat (karena terkait dengan persiapan pengajar dan siswa).
Dengan komitmen itu, BK memiliki tim kerja yang solid. mereka akui adanya kesadaran akan tanggung jawab, tumbuhnya kepedulian, keterbukaan, saling berbagi dan saling membantu dalam tugas. Jika ada satu orang yang tidak beres tugasnya, maka temannya ikut merasakan ’tidak enak ’ dan turun tangan ikut menyelesaikan. Dengan tim solid ini sub dit Tenaga Pengajar berhasil memberikan pelayanan yang cepat dan tepat sesuai kebutuhan peserta dan pengajar.
Jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya pada sub bidang Tenaga Pengajar yaitu pekerjaan sering tertunda-tunda. Kehadiran pegawai di kantor seenaknya, sehari masuk sehari tidak. Prestasi kerja kurang baik ditandai dengan tidak dapat menyusun jadwal diklat dengan tepat, dosen sering tidak hadir pada waktunya dan tenaga pengajar kurang berkualitas.
Banyak peserta yang gagal dalam ujian karena sequence jadwal pelajaran yang kurang baik. Dari penilaian 4 bulan setelah pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual terlihat adanya indikasi peningkatan kinerja pada sub Bid Tenaga Pengajar sebelum dan sesudah pelatihan sebagaimana tertera pada tabel 1 berikut ini.
Sumber Orasi Ilmiah: Ir. Sovia Emmy, MM.Agr.